BAPAK KOPERASI
KITA
Mohammad Hatta lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di
Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Proklamator, Wakil Presiden
Republik Indonesia Pertama (1945-1956) Bung Hatta dibesarkan di lingkungan
keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia
delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara Lihat Daftar Tokoh
Perempua - perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di
MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916,
timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond,
Jong Gubernur Sulawes Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong
Sumatranen Bond. Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari
pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik
dari iuran anggota maupun dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para
anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan
disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Proklamator, Wakil Presiden
Republik Indonesia Pertama (1945-1956)Mohammad Hatta. Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge
School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Tahun
1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging.
Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama
lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Hatta juga mengusahakan agar majalah
perkumpulan, Hindia Poetra, terbit secara teratur sebagai dasar pengikat
antaranggota. Pada tahun 1924 majalah ini berganti nama menjadi Indonesia
Merdeka. Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan) pada
tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi
pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi
waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif.
Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang
politik.
Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta
terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia
mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische Wereldbouw en
Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan.
Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk
landasan kebijaksanaan non-kooperatif. Sejak tahun 1926 sampai 1930,
berturut-turut Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI
berkembang dari perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang
mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga akhirnya diakui
oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (Ketua Umum DPP PPP
(1989-1994)PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di
Eropa. PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap
kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama
itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi. Pada tahun 1926,
dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin
delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville,
Prancis. Tanpa banyak oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh
kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda
ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi
internasional.
Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat
pengalaman penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial,
suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari
1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh
seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi
negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz
Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan
Nehru mulai dirintis sejak saat itu.
Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang
untuk memberikan ceramah bagi "Liga Lihat Daftar Tokoh Perempuan wanita
Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah
Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan
Kemerdekaan).
Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali
Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima
setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag
membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu,
Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan
sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan
ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka. Antara
tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya serta penulisan karangan
untuk majalah Daulat Ra'jat dan kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan
untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.Kembali ke Tanah Air Pada
bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan
sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933,
kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk
Daulat Ra'jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama pendidikan
kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Prinsip
non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.
Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno
sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir
dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di
Daulat Ra'jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933),
"Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin"
(10 Desember 1933). Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende,
Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan
Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia ditahan
dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari
kantor Jakarta adalah Proklamator, Wakil Presiden Republik Indonesia Pertama
(1945-1956) Mohammad Hatta, Perdana Menteri RI Pertama (1945-1947)Sutan
Syahrir, dan Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin,
Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun
di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku
berjudul "Krisis Ekonomi dan Kapitalisme".
Masa Pembuangan Pada bulan Januari 1935, Hatta dan
kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan
di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan
kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke
daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura,
dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia
mau bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah
menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah
Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.
Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis
artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya
hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di
Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16
peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan
pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah,
dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan
dengan judul-judul antara lain, "Pengantar ke Jalan llmu dan
Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).
Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van
Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke
Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu
Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan
Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran
kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan
lain-Iain.
Pendudukan Jepang Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta
dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia
Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan
Sjahrir dibawa ke Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk
bekerja sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa
Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah
Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada.
menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa
Kemerdekaan Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya
sendiri. Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai
senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah
sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu
didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh pada bulan
September 1944.
Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak
bicara. Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan
Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia
mengatakan, "Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan
oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan
ini setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia
tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang
kembali."
Proklamasi Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan Proklamator, Wakil
Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1956)Mohammad Hatta sebagai Wakil
Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia,
sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa. Pada tanggal
16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan
proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Ulama, Pejuang perang paderi
Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00
pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo,
Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan
untuk menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks
proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan
kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya
ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya menanti.
Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut
ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir
menyambut dengan bertepuk tangan riuh. Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa
Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.
Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik
Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia.
Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus
merupakan satu dwitunggal.
Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia harus
mempertahankan kemerdekaannya dari usaha Pemerintah Belanda yang ingin menjajah
kembali. Pemerintah Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Wakil Presiden
Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda
menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu
berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda. Untuk
mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Proklamator, Wakil Presiden
Republik Indonesia Pertama (1945-1956) Bung Hatta pergi ke India menemui
Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama
Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Lihat Daftar
Menteri Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Lihat Daftar Menteri
Menteri Morarji Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan
protes dan resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.
Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti.
September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali
melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka.
Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus
berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan
bersenjata. Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Proklamator, Wakil
Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1956) Bung Hatta yang mengetuai
Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima pengakuan
kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.
Bung Hatta juga menjadi Perdana Lihat Daftar Menteri
Menteri waktu NegaraRepublik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya
setelah RIS menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali
menjadi Wakil Presiden. Bapak Proklamator, Wakil Presiden Republik Indonesia
Pertama (1945-1956)koperasi Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap
aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia
juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan
Proklamator, Wakil Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1956) koperasi.
Dia juga aktif membimbing gerakan Proklamator, Wakil Presiden Republik
Indonesia Pertama (1945-1956) koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam
konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio
unTuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta
dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai
Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung.
Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam
bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).
Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila
parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan
diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu
diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono.
Tembusan surat dikirimkan kepada Proklamator, Presiden Republik Indonesia
Pertama (1945-1966) Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi
oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa
pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Lihat
Daftar Presiden Republik Indonesia Presiden RI. Proklamator, Presiden Republik
Indonesia Pertama (1945-1966) Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi
Bung Hatta tetap pada pendiriannya.
Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar
kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari
Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta
mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul "Lampau dan Datang".
Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil
Lihat Daftar Presiden Republik Indonesia Presiden RI, beberapa gelar akademis
juga diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di
Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik
perekonomian. Universitas Hasanuddin di Raja Gowa ke-16, dinobatkan pada tahun
1653 Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi.
Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu
hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul "Menuju Negara Hukum".
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah
Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan
dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.
Dalam masa pemerintahan Presiden Republik Indonesia
Kedua (1966-1988) Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi
bangsanya daripada seorang politikus. Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada
tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka
mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan Halida
Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr.
Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta
sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan
Mohamad Athar Baridjambek. Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Republik
Indonesia Kedua (1966-1988) Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta
anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik
Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara. Bung
Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia,
wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo,
Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada tanggal 15
Maret 1980.
REFERENSI :
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/257-bapak-koperasi-indonesia