Senin, 07 Juli 2014

Mencermati Tuduhan Terbuka KPPU Dalam Kasus Dugaan Persekongkolan Tender Pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP)

            Sebelumnya perlu ditegaskan bahwa tulisan ini adalah bukan bagian dari pembelaan pelaku usaha terlapor dalam kasus dugaan persekongkolan tender pengadaan E-KTP, penulis adalah bukan kuasa hukum dan tidak terafiliasi dan/atau terkait dengan pihak-pihak dalam perkara tersebut. Penegasan ini perlu disampaikan guna menghindari strategi KPPU yang beberapa kali mempersangkakan bahwa tulisan yang mengkritik KPPU adalah bagian dari pembelaan pihak yang sedang diperiksa KPPU.

A.   PENDAHULUAN

                 Salah satu keluhan pelaku usaha dan masyarakat terhadap cara Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memeriksa perkara dugaan pelanggaran Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU No. 5/1999”) ditujukan kepada kebiasaan KPPU yang kerap menggunakan media sebagai sarana untuk mengadili pelaku usaha terlapor dan dengan demikian membentuk opini publik bahwa pelaku usaha yang sedang diperiksa oleh KPPU melanggar ketentuan UU No. 5/1999, baik melalui keterangan Biro Humas KPPU maupun keterangan anggota komisioner yang sedang memeriksa perkara (trial by media).

                 Selama bertahun-tahun perilaku KPPU yang berpotensi melanggar asas praduga tidak bersalah ini selalu dikecam oleh masyarakat dan pelaku usaha, akan tetapi tampaknya KPPU memilih untuk menutup telinga rapat-rapat dan sampai hari ini meneruskan kebiasaan beropini di publik terhadap suatu perkara pelanggaran UU No. 5/1999 yang sedang mereka tangani, walaupun pelanggaran tersebut baru bersifat dugaan, tanpa mempedulikan bahwa perilaku mereka tersebut dapat mendiskriditkan nama baik pelaku usaha yang menjadi objek opini di media massa. Bahkan demi melegalkan tindakan komisioner KPPU untuk berbicara di media massa terkait perkara yang sedang ditangani, KPPU mencabut larangan dalam Kode Etik mereka yang sebelumnya mengharamkan tindakan semacam ini.

                 Dalam perjalanannya, banyak perkara-perkara yang diperiksa dan gencar diopinikan KPPU di media berakhir dengan para pelaku usaha diputus bersalah oleh KPPU dan berlanjut ke Pengadilan Negeri dan/atau Mahkamah Agung karena pelaku usaha mengajukan keberatan. Sebagian dari putusan KPPU tersebut dikuatkan oleh Pengadilan, sedangkan sebagian lainnya kemudian dibatalkan oleh Pengadilan. Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan putusan KPPU beberapa di antaranya dengan tegas menyatakan bahwa kesimpulan yang diambil KPPU di dalam putusannya tidak didasarkan kepada alasan dan bukti yang cukup, kecuali hanya merupakan dugaan yang didasarkan kepada persangkaan, kesimpulan ini dengan tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 422 K/PDT.SUS/2009 tertanggal 12 Pebruari 2010 dan Putusan Mahkamah Agung No. 109 K/PDT.SUS/2009 tertanggal 30 Maret 2009.

                 Dengan demikian jelas bahwa dalam banyak hal, perkara dugaan pelanggaran UU No. 5/1999 yang diperiksa dan kemudian gencar diopinikan ke publik oleh KPPU sesungguhnya tidak berdasarkan alasan dan bukti yang cukup, melainkan semata-mata berdasarkan prasangka buruk di pihak KPPU akan kebersalahan pelaku usaha terlapor yang sedang diperiksa sebab para pelaku usaha tersebut adalah korporasi-korporasi jahat yang menginjak-injak iklim persaingan usaha di Indonesia.

                 Adanya praduga bersalah dari KPPU terhadap pelaku usaha yang diperiksa nyata terlihat dalam beberapa tindak tanduk KPPU ketika menangani berbagai perkara high profile beberapa tahun terakhir. Perkara akuisisi PT Alfa Retailindo Tbk oleh Carrefour misalnya, yang mana selama pemeriksaan perkara tersebut KPPU sangat gencar mendiskriditkan nama Carrefour di muka publik, bahkan dalam sebuah acara peluncuran buku KPPU yang penerbitannya didanai oleh sebuah NGO asing, Ketua KPPU (saat itu) Benny Pasaribu dengan lantang menyebut Carrefour Prancis sebagai buronan di depan awak media.

                 Dalam kasus lain terkait hak siar Liga Inggris, anggota komisioner yang memeriksa perkara secara tidak patut membuka isi perjanjian yang bersifat rahasia antara para terlapor yang melibatkan konglomerasi media dari Malaysia dan Indonesia. Lebih jauh lagi, vonis Mahkamah Agung kepada Muhammad Iqbal yang merupakan salah satu anggota komisioner dalam perkara itu karena menerima suap dari Billy Sindoro untuk menyusupkan amar pesanan membuktikan bahwa KPPU tidak bersih dari benturan kepentingan, sebaliknya KPPU sangat kental benturan kepentingan dan oleh karena itu masyarakat awam tidak dapat membuang kemungkinan adanya pelaku usaha “menitip pesanan” kepada KPPU untuk menjerumuskan pelaku usaha saingannya ataupun menihilkan adanya komisioner KPPU yang berwacana di publik hanya demi meningkatkan citra diri dengan menunggangi perkara yang sedang mereka tangani, mengingat sebagian komisioner adalah simpatisan partai politik tertentu dan sebagian lain mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan publik tertentu, menjadi Hakim Agung atau ikut pilkada misalnya.

                 Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana KPPU akan bersikap dalam hal Mahkamah Agung menyatakan pelaku usaha terlapor yang menjadi korban kampanye hitam KPPU di media massa ternyata tidak melakukan pelanggaran terhadap UU No. 5/1999 dan lepas dari segala tuntutan hukum? Kembali kita akan mengambil contoh dari Kasus Carrefour dan Liga Inggris. Mahkamah Agung telah membatalkan putusan-putusan KPPU terkait dua perkara tersebut, khusus dalam perkara Carrefour, seluruh tingkat Pengadilan, dari Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung tidak ada yang menguatkan kesimpulan KPPU. Demikian pula terjadi pada kasus Kartel Minyak Goreng, kasus Kartel Fuel Surcharge maupun obat hipertensi.

                 Amat disayangkan bahwa KPPU dalam hal ini menolak meminta maaf karena telah mendiskriditkan nama baik pelaku-pelaku usaha dalam perkara di atas, dan hanya berusaha mengelak dari tanggung jawab mereka dengan bermain statistik belaka. Sebagai contoh, pemberitaan di Harian Bisnis Indonesia edisi 12 Maret 2012, halaman 11 yang memuat laporan berisi pesan singkat dari Biro Humas KPPU menanggapi berita sehari sebelumnya bahwa Mahkamah Agung pada tingkat Peninjuan Kembali telah membatalkan putusan KPPU dalam kasus hak siar Liga Inggris, yang pada pokoknya menyatakan bahwa 76% vonis KPPU dikuatkan oleh Mahkamah Agung dan dengan demikian memperoleh kesimpulan bahwa Mahkamah Agung setuju dengan due process of law yang dilakukan KPPU.

                 Penulis merasa Biro Humas KPPU tidak menyadari blunder yang dilakukan dalam strategi bermain statistik tersebut, sebab, pernyataan beliau secara a contrario dapat disimpulkan sebagai pengakuan bahwa masih terdapat 24% putusan KPPU yang dibatalkan Mahkamah Agung karena tidak setuju dengan pelanggaran due process of law yang dilakukan KPPU dan dengan demikian melanggar hak pelaku usaha terlapor. Sekalipun hanya 1% putusan KPPU yang melanggar hak pelaku terlapor, hal ini tetap salah, apalagi apabila angka pelanggaran due process of law tersebut mencapai 24%? Tentu menyengat setiap hati nurani masyarakat kita manakala mengetahui ada lembaga negara yang mengedepankan tindakan tidak beretika dalam berhukum dan membanggakan tindakan tersebut di media massa.

B.   PERKARA DUGAAN PELANGGARAN TENDER DALAM KASUS E-KTP

                 Perilaku tidak terpuji KPPU yang cenderung mengadili perkara-perkara high profile di media massa demi mendapatkan ketenaran (lime light) terulang kembali beberapa waktu belakangan ini. Hari-hari ini, berbagai media massa nasional memuat laporan terkait kasus dugaan persekongkolan tender pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP) senilai Rp. 5,8 trilliun pada 19 April, yang saat ini baru memasuki pemeriksaan pendahuluan oleh KPPU dengan sumber pemberitaan berasal dari komisioner pemeriksa perkara sendiri.

                 Memang KPPU melalui Kepala Biro Humas Ahmad Junaidi secara berkala mengirimkan pesan singkat maupun press release ke media massa maupun mengadakan press conference, baik terkait perkara yang sedang ditangani atau pembelaan atas kritikan terhadap KPPU atau pembelaan pada saat putusan KPPU dibatalkan Pengadilan, atau nama perusahaan yang melaporkan rencana merger/akuisisi kepada KPPU dan kesimpulan KPPU terhadap rencana merger/akuisisi tersebut atau mengingatkan kembali peningkatan statistik perusahaan yang memberikan notifikasi kepada KPPU tahun berjalan dibandingkan tahun sebelumnya.

                 Tentu tidak mengherankan KPPU melakukan kegiatan “sosialisasi” di media massa, melainkan mempertanyakan alasan keterangan tersebut diberikan oleh komisioner pemeriksa perkara dan bukan Kepala Biro Humas yang memang ditunjuk sebagai juru bicara KPPU, bukankah tugas dari departemen kehumasan memang untuk berhadapan dengan media dan/atau masyarakat untuk menjelaskan posisi dari lembaga tersebut?

                 Timbul pemikiran skeptis penulis bahwa pemberian keterangan tersebut dilakukan semata-mata untuk mencari popularitas yang bersangkutan di media massa, mengapa? Sebab faktanya pemeriksaan baru memasuki tahap pendahuluan, sehingga tidak banyak fakta hukum yang bisa terungkap, sehingga tidak ada urgensi untuk menuduh para pelaku usaha terlapor tersebut di depan media massa telah melakukan persekongkolan tender.

                 Selain itu, apabila hanya untuk mempublikasikan perkara yang sedang ditangani KPPU, bukankah keterangan dari Kepala Biro Humas sudah cukup dengan menyatakan bahwa KPPU sedang memeriksa dugaan persekongkolan tender E-TKP, tanpa dibumbui secara bombastis oleh komisioner yang memeriksa perkara.

                 Dari sisi etika yang berlaku di kalangan komisioner KPPU, komisioner pemeriksa perkara tidak dilarang untuk berbicara di hadapan publik mengenai perkara yang sedang ditanganinya, sebab larangan tersebut sudah dicabut, namun bagaimana dengan Investigator? dari sisi etika berhukum yang berlaku secara universal, otoritas dan/atau pejabat publik dilarang untuk membuka perkara yang sedang ditanganinya, satu dan lain hal demi menghormati praduga tidak bersalah dari pihak terperiksa.

                 Memang sebagaimana diakui oleh Kepala Biro Humas KPPU sendiri, bahwa masih terdapat 24% perkara yang ditangani KPPU yang melanggar prinsip due process of law sehingga dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Penulis tidak menyangsikan bahwa tindakan berbicara di media massa dan membuka tahapan pemeriksaan suatu perkara yang demikian melanggar etika berhukum dari penegak hukum dan termasuk pelanggaran terhadap prinsip due process of law. KPPU harus mengingat bahwa sangat sulit bagi pihak terlapor yang namanya tercemar akibat tindakan KPPU untuk main hakim sendiri di media massa untuk memulihkan nama baiknya seperti sediakala.

                 KPPU harus selalu mengingat bahwa KPPU adalah bukan pihak yang sedang berperkara melawan pihak terlapor, sehingga strategi berperkara menggunakan media massa sebagaimana lazim dilakukan pihak-pihak yang sedang bersengketa tidak boleh dilakukan KPPU, sebab sekali lagi, KPPU bukan pihak dan KPPU idealnya tidak mempunyai kepentingan di dalam perkara tersebut sehingga tetap menjaga netralitas selama proses pemeriksaan perkara apapun, dan bukan sudah terpatri di dalam pikiran stigma terlapor bersalah padahal belum ada putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap.

                 Selain itu KPPU dalam memeriksa perkara E-KTP dan perkara-perkara lain harus selalu mengingat bahwa putusan KPPU tidak mempunyai kekuatan eksekutorial layaknya putusan pengadilan, oleh sebab itu Mahkamah Agung membatalkan putusan KPPU yang nekad mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang lazimnya ditemui dalam setiap dokumen yang dianggap merupakan alat bukti sempurna. Dengan demikian kesimpulan KPPU terhadap pelanggaran UU No. 5/1999 oleh pihak tertentu yang dituangkan dalam putusan-putusan mereka sebenarnya hanya bernilai bukti permulaan adanya pelanggaran dan bukan bukti sempurna.

                 Fakta putusan KPPU adalah bukan alat bukti sempurna pelanggaran UU No. 5/1999 juga semakin terbukti dari isi ketentuan UU No. 5/1999 sendiri yang memberikan ruang bagi pelaku usaha terlapor untuk menguji keabsahan dan legalitas dari putusan KPPU yang dijatuhkan terhadap mereka, dan pada akhirnya Pengadilan-lah dan bukan KPPU yang akan memutuskan apakah terjadi pelanggaran terhadap UU No. 5/1999 atau tidak, yang menurut keterangan Kepala Biro Humas KPPU, Pengadilan menemukan sebesar 76% putusan KPPU layak dikuatkan berbanding dengan sebesar 24% putusan KPPU harus dibatalkan karena melanggar asas due process of law.

ANALISIS :

            Menurut Saya, jelas bahwa sungguh tidak patut dan tidak beretika apabila pada tingkat pemeriksaan pendahuluan, anggota komisioner pemeriksa sudah berbicara banyak di media massa untuk membentuk opini terhadap perkara yang sedang ditangani padahal belum tentu pada akhirnya Pengadilan akan memutus proses pemeriksaan pada tingkat KPPU dapat dibenarkan. Terlebih lagi tidak patut apabila benar dugaan penulis bahwa keterangan di media massa tersebut diberikan untuk mencari ketenaran dengan menunggangi punggung pelaku usaha terlapor.

            Akhir kata, berbagai pembatalan vonis KPPU oleh Pengadilan seharusnya memberi pelajaran kepada KPPU bahwa sesungguhnya pelaku usaha terlapor tidak boleh diperlakukan sebagai terhukum kecuali berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Singkat kata, KPPU harus mengevaluasi diri dan mengambil tindakan serius untuk menghilangkan praktek tidak beretika yang kerap dilakukan dan bukan mengandalkan statistik semata untuk membuai diri dari realitas di lapangan.
SUMBER :