Mencermati
Tuduhan Terbuka KPPU Dalam Kasus Dugaan Persekongkolan Tender Pengadaan Kartu
Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP)
Sebelumnya
perlu ditegaskan bahwa tulisan ini adalah bukan bagian dari pembelaan pelaku
usaha terlapor dalam kasus dugaan persekongkolan tender pengadaan E-KTP,
penulis adalah bukan kuasa hukum dan tidak terafiliasi dan/atau terkait dengan
pihak-pihak dalam perkara tersebut. Penegasan ini perlu disampaikan guna
menghindari strategi KPPU yang beberapa kali mempersangkakan bahwa tulisan yang
mengkritik KPPU adalah bagian dari pembelaan pihak yang sedang diperiksa KPPU.
A. PENDAHULUAN
Salah
satu keluhan pelaku usaha dan masyarakat terhadap cara Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) memeriksa perkara dugaan pelanggaran Undang-undang No.
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(“UU No. 5/1999”) ditujukan kepada kebiasaan KPPU yang kerap menggunakan media
sebagai sarana untuk mengadili pelaku usaha terlapor dan dengan demikian
membentuk opini publik bahwa pelaku usaha yang sedang diperiksa oleh KPPU
melanggar ketentuan UU No. 5/1999, baik melalui keterangan Biro Humas KPPU
maupun keterangan anggota komisioner yang sedang memeriksa perkara (trial by
media).
Selama
bertahun-tahun perilaku KPPU yang berpotensi melanggar asas praduga tidak
bersalah ini selalu dikecam oleh masyarakat dan pelaku usaha, akan tetapi
tampaknya KPPU memilih untuk menutup telinga rapat-rapat dan sampai hari ini
meneruskan kebiasaan beropini di publik terhadap suatu perkara pelanggaran UU
No. 5/1999 yang sedang mereka tangani, walaupun pelanggaran tersebut baru bersifat
dugaan, tanpa mempedulikan bahwa perilaku mereka tersebut dapat mendiskriditkan
nama baik pelaku usaha yang menjadi objek opini di media massa. Bahkan demi
melegalkan tindakan komisioner KPPU untuk berbicara di media massa terkait
perkara yang sedang ditangani, KPPU mencabut larangan dalam Kode Etik mereka
yang sebelumnya mengharamkan tindakan semacam ini.
Dalam
perjalanannya, banyak perkara-perkara yang diperiksa dan gencar diopinikan KPPU
di media berakhir dengan para pelaku usaha diputus bersalah oleh KPPU dan
berlanjut ke Pengadilan Negeri dan/atau Mahkamah Agung karena pelaku usaha
mengajukan keberatan. Sebagian dari putusan KPPU tersebut dikuatkan oleh
Pengadilan, sedangkan sebagian lainnya kemudian dibatalkan oleh Pengadilan.
Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan putusan KPPU beberapa di antaranya
dengan tegas menyatakan bahwa kesimpulan yang diambil KPPU di dalam putusannya
tidak didasarkan kepada alasan dan bukti yang cukup, kecuali hanya merupakan
dugaan yang didasarkan kepada persangkaan, kesimpulan ini dengan tegas
dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 422 K/PDT.SUS/2009 tertanggal 12
Pebruari 2010 dan Putusan Mahkamah Agung No. 109 K/PDT.SUS/2009 tertanggal 30
Maret 2009.
Dengan
demikian jelas bahwa dalam banyak hal, perkara dugaan pelanggaran UU No. 5/1999
yang diperiksa dan kemudian gencar diopinikan ke publik oleh KPPU sesungguhnya
tidak berdasarkan alasan dan bukti yang cukup, melainkan semata-mata
berdasarkan prasangka buruk di pihak KPPU akan kebersalahan pelaku usaha
terlapor yang sedang diperiksa sebab para pelaku usaha tersebut adalah
korporasi-korporasi jahat yang menginjak-injak iklim persaingan usaha di
Indonesia.
Adanya
praduga bersalah dari KPPU terhadap pelaku usaha yang diperiksa nyata terlihat
dalam beberapa tindak tanduk KPPU ketika menangani berbagai perkara high
profile beberapa tahun terakhir. Perkara akuisisi PT Alfa Retailindo Tbk oleh
Carrefour misalnya, yang mana selama pemeriksaan perkara tersebut KPPU sangat
gencar mendiskriditkan nama Carrefour di muka publik, bahkan dalam sebuah acara
peluncuran buku KPPU yang penerbitannya didanai oleh sebuah NGO asing, Ketua
KPPU (saat itu) Benny Pasaribu dengan lantang menyebut Carrefour Prancis
sebagai buronan di depan awak media.
Dalam
kasus lain terkait hak siar Liga Inggris, anggota komisioner yang memeriksa
perkara secara tidak patut membuka isi perjanjian yang bersifat rahasia antara
para terlapor yang melibatkan konglomerasi media dari Malaysia dan Indonesia.
Lebih jauh lagi, vonis Mahkamah Agung kepada Muhammad Iqbal yang merupakan
salah satu anggota komisioner dalam perkara itu karena menerima suap dari Billy
Sindoro untuk menyusupkan amar pesanan membuktikan bahwa KPPU tidak bersih dari
benturan kepentingan, sebaliknya KPPU sangat kental benturan kepentingan dan
oleh karena itu masyarakat awam tidak dapat membuang kemungkinan adanya pelaku
usaha “menitip pesanan” kepada KPPU untuk menjerumuskan pelaku usaha saingannya
ataupun menihilkan adanya komisioner KPPU yang berwacana di publik hanya demi
meningkatkan citra diri dengan menunggangi perkara yang sedang mereka tangani,
mengingat sebagian komisioner adalah simpatisan partai politik tertentu dan
sebagian lain mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan publik tertentu, menjadi
Hakim Agung atau ikut pilkada misalnya.
Yang
menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana KPPU akan bersikap dalam hal
Mahkamah Agung menyatakan pelaku usaha terlapor yang menjadi korban kampanye
hitam KPPU di media massa ternyata tidak melakukan pelanggaran terhadap UU No.
5/1999 dan lepas dari segala tuntutan hukum? Kembali kita akan mengambil contoh
dari Kasus Carrefour dan Liga Inggris. Mahkamah Agung telah membatalkan
putusan-putusan KPPU terkait dua perkara tersebut, khusus dalam perkara
Carrefour, seluruh tingkat Pengadilan, dari Pengadilan Negeri hingga Mahkamah
Agung tidak ada yang menguatkan kesimpulan KPPU. Demikian pula terjadi pada
kasus Kartel Minyak Goreng, kasus Kartel Fuel Surcharge maupun obat hipertensi.
Amat
disayangkan bahwa KPPU dalam hal ini menolak meminta maaf karena telah
mendiskriditkan nama baik pelaku-pelaku usaha dalam perkara di atas, dan hanya
berusaha mengelak dari tanggung jawab mereka dengan bermain statistik belaka.
Sebagai contoh, pemberitaan di Harian Bisnis Indonesia edisi 12 Maret 2012, halaman
11 yang memuat laporan berisi pesan singkat dari Biro Humas KPPU menanggapi
berita sehari sebelumnya bahwa Mahkamah Agung pada tingkat Peninjuan Kembali
telah membatalkan putusan KPPU dalam kasus hak siar Liga Inggris, yang pada
pokoknya menyatakan bahwa 76% vonis KPPU dikuatkan oleh Mahkamah Agung dan
dengan demikian memperoleh kesimpulan bahwa Mahkamah Agung setuju dengan due
process of law yang dilakukan KPPU.
Penulis
merasa Biro Humas KPPU tidak menyadari blunder yang dilakukan dalam strategi
bermain statistik tersebut, sebab, pernyataan beliau secara a contrario dapat
disimpulkan sebagai pengakuan bahwa masih terdapat 24% putusan KPPU yang
dibatalkan Mahkamah Agung karena tidak setuju dengan pelanggaran due process of
law yang dilakukan KPPU dan dengan demikian melanggar hak pelaku usaha
terlapor. Sekalipun hanya 1% putusan KPPU yang melanggar hak pelaku terlapor,
hal ini tetap salah, apalagi apabila angka pelanggaran due process of law
tersebut mencapai 24%? Tentu menyengat setiap hati nurani masyarakat kita
manakala mengetahui ada lembaga negara yang mengedepankan tindakan tidak
beretika dalam berhukum dan membanggakan tindakan tersebut di media massa.
B. PERKARA
DUGAAN PELANGGARAN TENDER DALAM KASUS E-KTP
Perilaku
tidak terpuji KPPU yang cenderung mengadili perkara-perkara high profile di
media massa demi mendapatkan ketenaran (lime light) terulang kembali beberapa
waktu belakangan ini. Hari-hari ini, berbagai media massa nasional memuat laporan
terkait kasus dugaan persekongkolan tender pengadaan kartu tanda penduduk
elektronik (E-KTP) senilai Rp. 5,8 trilliun pada 19 April, yang saat ini baru
memasuki pemeriksaan pendahuluan oleh KPPU dengan sumber pemberitaan berasal
dari komisioner pemeriksa perkara sendiri.
Memang
KPPU melalui Kepala Biro Humas Ahmad Junaidi secara berkala mengirimkan pesan
singkat maupun press release ke media massa maupun mengadakan press conference,
baik terkait perkara yang sedang ditangani atau pembelaan atas kritikan
terhadap KPPU atau pembelaan pada saat putusan KPPU dibatalkan Pengadilan, atau
nama perusahaan yang melaporkan rencana merger/akuisisi kepada KPPU dan
kesimpulan KPPU terhadap rencana merger/akuisisi tersebut atau mengingatkan
kembali peningkatan statistik perusahaan yang memberikan notifikasi kepada KPPU
tahun berjalan dibandingkan tahun sebelumnya.
Tentu
tidak mengherankan KPPU melakukan kegiatan “sosialisasi” di media massa,
melainkan mempertanyakan alasan keterangan tersebut diberikan oleh komisioner
pemeriksa perkara dan bukan Kepala Biro Humas yang memang ditunjuk sebagai juru
bicara KPPU, bukankah tugas dari departemen kehumasan memang untuk berhadapan
dengan media dan/atau masyarakat untuk menjelaskan posisi dari lembaga
tersebut?
Timbul
pemikiran skeptis penulis bahwa pemberian keterangan tersebut dilakukan
semata-mata untuk mencari popularitas yang bersangkutan di media massa,
mengapa? Sebab faktanya pemeriksaan baru memasuki tahap pendahuluan, sehingga
tidak banyak fakta hukum yang bisa terungkap, sehingga tidak ada urgensi untuk
menuduh para pelaku usaha terlapor tersebut di depan media massa telah
melakukan persekongkolan tender.
Selain
itu, apabila hanya untuk mempublikasikan perkara yang sedang ditangani KPPU,
bukankah keterangan dari Kepala Biro Humas sudah cukup dengan menyatakan bahwa
KPPU sedang memeriksa dugaan persekongkolan tender E-TKP, tanpa dibumbui secara
bombastis oleh komisioner yang memeriksa perkara.
Dari
sisi etika yang berlaku di kalangan komisioner KPPU, komisioner pemeriksa
perkara tidak dilarang untuk berbicara di hadapan publik mengenai perkara yang
sedang ditanganinya, sebab larangan tersebut sudah dicabut, namun bagaimana
dengan Investigator? dari sisi etika berhukum yang berlaku secara universal,
otoritas dan/atau pejabat publik dilarang untuk membuka perkara yang sedang
ditanganinya, satu dan lain hal demi menghormati praduga tidak bersalah dari
pihak terperiksa.
Memang
sebagaimana diakui oleh Kepala Biro Humas KPPU sendiri, bahwa masih terdapat
24% perkara yang ditangani KPPU yang melanggar prinsip due process of law
sehingga dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Penulis tidak menyangsikan bahwa
tindakan berbicara di media massa dan membuka tahapan pemeriksaan suatu perkara
yang demikian melanggar etika berhukum dari penegak hukum dan termasuk
pelanggaran terhadap prinsip due process of law. KPPU harus mengingat bahwa
sangat sulit bagi pihak terlapor yang namanya tercemar akibat tindakan KPPU
untuk main hakim sendiri di media massa untuk memulihkan nama baiknya seperti
sediakala.
KPPU
harus selalu mengingat bahwa KPPU adalah bukan pihak yang sedang berperkara
melawan pihak terlapor, sehingga strategi berperkara menggunakan media massa
sebagaimana lazim dilakukan pihak-pihak yang sedang bersengketa tidak boleh
dilakukan KPPU, sebab sekali lagi, KPPU bukan pihak dan KPPU idealnya tidak
mempunyai kepentingan di dalam perkara tersebut sehingga tetap menjaga
netralitas selama proses pemeriksaan perkara apapun, dan bukan sudah terpatri
di dalam pikiran stigma terlapor bersalah padahal belum ada putusan Pengadilan
berkekuatan hukum tetap.
Selain
itu KPPU dalam memeriksa perkara E-KTP dan perkara-perkara lain harus selalu
mengingat bahwa putusan KPPU tidak mempunyai kekuatan eksekutorial layaknya
putusan pengadilan, oleh sebab itu Mahkamah Agung membatalkan putusan KPPU yang
nekad mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” yang lazimnya ditemui dalam setiap dokumen yang dianggap merupakan alat
bukti sempurna. Dengan demikian kesimpulan KPPU terhadap pelanggaran UU No.
5/1999 oleh pihak tertentu yang dituangkan dalam putusan-putusan mereka
sebenarnya hanya bernilai bukti permulaan adanya pelanggaran dan bukan bukti
sempurna.
Fakta
putusan KPPU adalah bukan alat bukti sempurna pelanggaran UU No. 5/1999 juga
semakin terbukti dari isi ketentuan UU No. 5/1999 sendiri yang memberikan ruang
bagi pelaku usaha terlapor untuk menguji keabsahan dan legalitas dari putusan
KPPU yang dijatuhkan terhadap mereka, dan pada akhirnya Pengadilan-lah dan
bukan KPPU yang akan memutuskan apakah terjadi pelanggaran terhadap UU No.
5/1999 atau tidak, yang menurut keterangan Kepala Biro Humas KPPU, Pengadilan
menemukan sebesar 76% putusan KPPU layak dikuatkan berbanding dengan sebesar
24% putusan KPPU harus dibatalkan karena melanggar asas due process of law.
ANALISIS :
Menurut
Saya, jelas bahwa sungguh tidak patut dan tidak beretika apabila pada
tingkat pemeriksaan pendahuluan, anggota komisioner pemeriksa sudah berbicara
banyak di media massa untuk membentuk opini terhadap perkara yang sedang
ditangani padahal belum tentu pada akhirnya Pengadilan akan memutus proses
pemeriksaan pada tingkat KPPU dapat dibenarkan. Terlebih lagi tidak patut
apabila benar dugaan penulis bahwa keterangan di media massa tersebut diberikan
untuk mencari ketenaran dengan menunggangi punggung pelaku usaha terlapor.
Akhir
kata, berbagai pembatalan vonis KPPU oleh Pengadilan seharusnya memberi
pelajaran kepada KPPU bahwa sesungguhnya pelaku usaha terlapor tidak boleh
diperlakukan sebagai terhukum kecuali berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Singkat kata, KPPU harus mengevaluasi diri dan
mengambil tindakan serius untuk menghilangkan praktek tidak beretika yang kerap
dilakukan dan bukan mengandalkan statistik semata untuk membuai diri dari
realitas di lapangan.
SUMBER
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar